Selasa, 29 Januari 2008

Kalam Insya Thalabi dalam Al Qur’an ; Kajian Ilmu Ma’ani pada Surat Al-Anbiya.

ABSTRAK


Novianti : Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka, yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Bahasa yang digunakan Al-Qur’an adalah bahasa Arab. Salah satu keindahan bahasa Arab terletak pada segi balaghahnya. Seperti keindahan Balaghah yang terdapat pada surat al-Anbiya adalah Insya Thalabi. Pada surat tersebut banyak ditemukan Insya Thalabi dan penyimpangan makna-maknanya. Sehingga penelitian untuk mengungkap lafadz-lafadz dan penyimpangan makna pada surat tersebut perlu dilakukan, maka peneliti melakukan penelitian terhadap masalah tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lafadz-lafadz dan makna Insya Thalabi pada surat al-Anbiya. Ayat-ayat yang mengandung Insya Thalabi pada surat al-Anbiya menjadi jenis data penelitian. Dan untuk mengungkap masalah pada penelitian ini diperlukan teori-teori Ilmu Ma’ani yang tepatnya pada Insya Thalabi. Kemudian ayat-ayat yang mengandung Insya Thalabi dianalisis dengan menggunakan teori-teori tersebut.
Dengan menggunakan metode penelitian content analysis atau analisis isi dan melalui pendekatan Balaghah, peneliti berusaha mengungkap lafadz-lafadz yang mengandung Insya Thalabi yang kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan jenis-jenis Insya Thalabi dan menganalisisnya maka terungkap makna-makna Insya Thalabi dalam surat al-Anbiya.
Setelah dilakukan penelitian pada surat al-Anbiya ditemukan 48 Kalam Insya Thalabi, makna perinciannya sebagai berikut:
1. Amar terdapat 16 lafadz, 5 bermakna Ta’jiz, 8 bermakna Wujub, 1 bermakna Ikram, 1 bermakna Tahdid, 1 bermakna Du’a;
2. Nahyi terdapat 1 lafadz bermakna Bayanul ‘aqibah dan Ta’jiz;
3. Istifham terdapat 20 lafadz. 13 Istifham hamzah; 1 bermakna Taqrir dan Tahqir, 1 bermakna Taqrir dan Nafy, 1 bermakna Taubikh dan Ingkar, 2 bermakna Ingkar, 1 bermakna Taqrir, 1 bermakna Nafy, 1 bermakna Taqrir dan Tahqir, 1 bermakna Tahkir dan Tahakum. 3 menggunakan Istifham “Hal”; 1 bermakna Tahakum dan Tahkir, 2 bermakna Amar. 1 menggunakan Istifham ”Ma” bermakna Tahakum dan Taqrir. 2 menggunakan Istifham “Kam” bermakna Taktsir dan Taqrir, 1 menggunakan Istifham “Mata” bermakna al-Wa’iid;
4. Tamani terdapat 5 lafadz; 1 menggunakan adat “La’alla”, 4 menggunakan adat “Law”, dan keseluruhannya bermakna asli atau Tamanni;
5. Nida’ terdapat 6 lafadz, 3 bermakna Tahassur dan Tawajju’; 1 bermakna Taqri’ dan Tadzkir; 2 bermakna al-Istighatsah

PENGANTAR KE ARAH PENELITIAN:

Oleh;: Rohanda WS.

A. Pengertian Penelitian

Kita sering mendengar kata penelitian walau terkadang belum tahu pasti apa arti kata penelitian sebenarnya. Oleh karena itu, arti kata penelitian perlu dijelaskan terlebih dahulu. Margono mendefinisakan penelitian sebagai berikut:
“Penelitian adalah semua kegiatan pencarian, penyelidikan, dan percobaan secara alamiah dalam suatu bidang tertentu, untuk mndapatkan fakta-fakta atau prinsip-prinsip baru yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian baru dan menaikan tingkat ilmu serta teknologi”.
Penelitian dan ilmu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Penelitian merupakan media untuk mengembangkan suatu ilmu. Karena tanpa penelitian ilmu akan mengalami stagnan atau statis. Menurut Anton Bakker, ilmu laksana bangunan yang terbuat dari batu. Melalui observasi, batu tersebut diklasifikasikan, kemudian dapat dijadikan sebagai bahan bangunan.[3]
Dengan penelitian, kemajuan ilmu dapat terus ditingkatkan agar dapat menjelaskan gejala-gejala, termasuk gejala-gejala kebahasaan dan kesusastraan. Ilmu terdiri dari sejumlah teori yang memberikan penjelasan atas gejala-gejala yang terjadi. Teori adalah pernyataan yang menunjukan hubungan sebab- akibat antara dua variabel atau lebih.
B. Manfaat Penelitian
Adapun nilai guna yang diharapkan dari kegiatan penelitain paling tidak ada beberapa hal;
1. Suatu upaya untuk merumuskan permasalahan-permasalahan, mengajukan berbagai pertanyaan, dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan cara menunjukan fakta-fakta dan memberikan argumen-argumen logis dan benar;
2. Suatu upaya untuk membuktian, menguatkan, menolak, dan bahkan merevisi kembali teori dan simpulan yang sudah ada /diterima berdasar fakta-fakta.
C. Desain Usulan Penelitian
Dalam kegiatn penelitian ilmiah ada beberapa hal yang harus dipahami dengan cermat supaya memudahkan peneliti mewujudkan keinginan tesebut. Peneliti seharusnya mengetahui tahapan-tahapan penelitian terlebih dahulu. Tahapan penelitian yang dimaksud adalah tahapan pembuatan rancangan atau desain usulan penelitian.
Adapun isi desain atau usulan penelitian mencakup hal-hal berkut:
1. Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah penelitian adalah alasan mengapa dilakukannya penelitian. Di sini harus dijelaskan berbagai permasalahan yang dipandang perlu adanya pemecahannya. Peneliti biasanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya akan diketahui setelah dilakukannya penelitian.
Yang disebut Permasalahan dalam penelitian ilmiah, yaitu:
1) Jika teori dengan teori bertentangan;
2) Jika teori dengan realitas bertentangan.
Lihat gambar di bawah ini:
Contoh A
Teori >< teori =" “Masalah”">< “Realitas” = “Masalah” Penjelasan: Karena teori bertentangan dengan realitas, maka hal tersebut dinamakan masalah. Oleh karena itu, setiap sesuatu itu dapat menimbulkan masalah, apa lagi sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan akademik harus dipertanyakan, kemudian diadakan kegiatan penelitian untuk mengetahui jawabannya Dari gamabar di atas dapat dipahami bahwa masalah pada hakikatnya adalah terjadinya kesenjangan antara teori dengan teori dan terjadinya kesenjangan antara teori atau sesuatu yang seharusnya ada (das sollen) dengan kenyataan yang ada (das sein). Contoh masalah A: 1) Ahli sastra Arab pada umumnya mengatakan: Salah satu peninggalan kesusastraan Arab jahiliyah adalah karya sastra dalam bentuk syair. Syair-syair tersebut dikenal dengan syair mu’alaqat al-sab’ah. Mu’alaqat al-sab’ah adalah sebutan untuk ketujuh syair yang digantungkan di dingding Ka’bah sebagai penghargaan atas nilai estetis yang terkandung didalamnya. 2) Thaha Husain berbeda pendapat dengan pernyataan di atas. Menurutnya, keberadaan syair “Mu’alaqat al-sab’ah” bukan syair yang digubah pada masa jahiliyah. Keberadaan syair tersebut yang disandarkan pada masa jahiliyah hanyalah rekayasa politik belaka, padahal syair itu digubah setelah masa Islam. Penyataan Thaha Husain di atas menimbulkan masalah, karena bertentangan dengan teori yang sudah ada sehingga akan muncul pertanyaan: Apa alasan Thaha Husain berani mengatakan bahwa syair mu’alaqat sab’ah itu bukan syair gubahan masa jahiliyah? Apa Faktanya?. Untuk mengetahui alasan Thaha Husen berpendapat bahwa syair jahiliyah itu hanyalah rekayasa politik harus dilakukan penelitian terlebih dahulu, baru akan ditemukan jawabannya yang akurat. Contoh Masalah B: Farazdaq, seorang penyair Arab yang hidup di masa Bani Umayyah. Ia adalah salah satu dari tiga penyair kenamaan saat itu di samping Jarir dan Akhtal. Kelebihannya dalam bersyair diantaranya adalah ungkapan-ungkapannya yang megah, lafadz yang fasih, dan banyak menyisipkan kosakata asing. Kepandaiannya dalam memuji para Khalifah membuatnya dekat dengan kekuasaan mereka. Ketika ia memuji Ali Zaenal Abidin[4] di depan Hisyam bin Abdil Malik[5], ia dianggap sebagai seorang pengikut Syi’ah yang mengakibatkan dirinya dipenjarakan oleh Hisyam. Di sisi lain, syairnya yang ditujukan kepada para khilafah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Mali, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, dan Walid bin Yazid secara kuantitas justru lebih banyak sebagaimana yang termuat dalam Diwan­-nya “Syarh Diwan al-Farazdaq” yang dikomentari oleh Iliya al-Hawa.
Dalam hal ini, tampak adanya suatu pertentangan pada diri Farazdaq, yakni di satu sisi ia memuji para khalifah Bani Umayyah, dan di sisi lain ia juga memuji Ali Zaenal Abidin yang merupakan pihak oposan khalifah. Singkatnya, ada dualisme atau dua keberpihakan Farazdaq kepada dua pihak yang bertentangan kedudukannya. Sehingga perlu diungkap latar belakang Farazdaq memuji pihak pemerintah dan latar belakang ia memuji pihak opon yang secara teologis jelas-jelas bersebrangan. Atau mungkin ada sebuah kehendak atau ‘kuasa” menurut istilah Michel Foucault[6] dari pernyataan Farazdaq tentang teologi yang berkembang pada masa itu. Atau mungkin ia ingin meninggikan atau menjatuhkan teologi yang dianut oleh pemerintah atau teologi yang dianut oleh Ali Zaenal Abidin, yaitu Syi’ah.
Kalau dilihat dari sisi keberanian Farazdaq memuji Zaenal Abidin, dapat saja Farazdaq dianggap sebagai pengikut Syi’ah. Anggapan ini didasarkan pada syair madh yang ditujukan kepada Ali Zaenal Abidin. Tapi belum jelas pengikut Syi’ah yang mana? Benar salahnya anggapan ini tidak bisa hanya berdasarkan pada syair tersebut saja, tetapi harus disertakan pula alasan-alasan lain yang mendukung. Sebab bila dilihat dari jumlahnya, syair yang ditujukan kepada para khalifah Bani Marwan justru lebih banyak. Sehingga perlu dilakukan penelitian ulang yang lebih mendalam tentang teologi yang berkembang dan dianut oleh umat muslim pada masa kekhalifahan Bani Umayyah menurut perspektif sastrawan, karena ia dianggap sebagai orang yang paling tajam pengamatannya tentang realitas sosial.
Untuk mendapatkan suatu masalah, S. Margono memberikan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, yaitu;dengan cara;[7]
1) Membaca;
2) Seminar; diskusi, pertemuan ilmiah;
3) Mendengarkan pernyataan dari orang yang dianggap memiliki otoritas;
4) Pengamatan walau hanya sekilas;
5) Melalui pengalaman pribadi;
6) Perasaan dan bahkan melalui ilham.
2. Perumusan Masalah
Setiap penelitian harus mempunyai masalah penelitian yang mesti dipecahkan guna mengetahui jawaban yang diinginkan. Perumusan kerja penelitian merupakan kerja yang tidak gampang walaupun tidak pula bisa dikatakan suatu kerja yang terlalu sulit. Peneliti-peneliti yang sudah berpengalaman sekalipun tidak begitu saja dapat menangkap permasalahan dan secepat pula membuat perumusan masalah, tetapi jika kita rajin mengamati segala yang ada disekeliling kita pasti ditemukan segudang masalah.[8]
Pada dasarnya segala sesuatu itu masalah. Masalah tersebut menjadi bagian penting dalam hidup, karena hidup tanpa adanya masalah akan terasa hampa, jadi masalah adalah sebuah unsur yang sangat penting dalam hidup, tetapi kalau suatu masalah tidak diselesaikan maka hidup akan terasa berat. Masalahlah yang membuat sesuatu itu menuju kesempurnaan.
Setelah seorang calon peneliti menemukan permasalahan-permasalahan, maka ia akan merumuskan masalah penelitian atau rumusan penelitian yang biasanya secara teknis ditulis dalam bentuk pertanyaan, diantaranya:
1) Apa;
2) Mengapa;
3) Bagaimana;
4) Kapan;
5) Mana; dan lain-lain.
Sebagai contoh, perumusan masalah/ perumusan penelitian dalam bentuk pertanyaan:
1) Apa latar belakang Thaha Husen menolak keberadaan syair jahiliyah?
2) Faktor apa yang melatarbelakangi proses kreatif dalam syair karya Farazdaq?
3) Apa tujuan Farazdaq memuji pihak Khalifah dan Ali Zaenal ‘Abidin?
4) Mengapa Farazdaq memuji pihak Khalifah dan Ali Zaenal ‘Abidin?
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian sangat berkaitan dengan perumusan masalah penelitian yang dicantumkan dalam rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Secara teknis, biasanya ditulis dengan kata-kata, misalnya;
1) Untuk mengetahui ________________________
2) Untuk menemukan ________________________
3) Untuk menjelaskan _________________
4) Untuk membandingkan ______________
5) Untuk menguraikan _________________
Jika perumusan masalah penelitian seperti yang tertulis di dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitiannya dapat dituangkan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui latar belakang Thaha Husen menolak keberadaan syair jahiliyah.
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi proses kreatif dalam syair karya Farazdaq.
3) Untuk menjelaskan tujuan Farazdaq memuji pihak Khalifah dan Ali Zaenal ‘Abidin.
Penelitian, selain mempunyai tujuan juga mempunyai nilai guna. Nilai guna penelitian memiliki hubungan yang erat dengan tujuan penelitian.
Pada umumnya kegunaan penelitian memiliki dua kegunaan; yaitu kegunaan secara teoretis dan kegunaan secara pragmatis. Kegunaan penelitian secara teoretis berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah. Sedangkan kegunaan penelitian secara pragmatis, misalnya; digunakan sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi, dan atau untuk menempuh gelar akademik tertentu.
4. Tinjauan Pustaka (Penelitian Terdahulu)
Sebelum melakukan penelitian terhadap suatu objek tertentu, sebaiknya terlebih dahulu dilakukan observasi diperpustakaan guna memperoleh informasi tentang penelitian sejenis yang sudah dilakukan peneliti lain. Hal ini sangat penting bagi calon peneliti, supaya tidak terjadi dan dikesani sebagai duplikasi dari penelitian yang sudah ada, dan untuk menjelasakan perbedaan posisi penelitian yang akan dilakukan. Boleh jadi penelitian terhadap objek yang sama, tetapi metode dan pendekatannya berbeda, maka penelitian semacam ini dianggap berbeda, karena penelitaian dengan menggunakan motode dan pendekatan yang berbeda walaupun diterapkan pada objek yang sama akan menghasilkan simpulan yang berbeda.
Penjelasan tentang penelitian terdahulu kalau diperlukan, harus ada penjelasan dan penilaian tentang kelebihan dan kekurangannya menyangkut metode, pendekatan, hasil penelitian, dan termasuk rekomendasi yang disarankannya untuk dilakukan penelitian lanjutan.
5. Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran adalah semacam “pisau” analisis yang digunakan peneliti untuk membantu memecahkan permasalahan yang terdapat dalam rumusan penelitian. Kerangka pemikiran ini dapat diperoleh dari informasi teori-teori penelitian terdahulu, kemudian diadaptasikan dan rumuskan sesuai dengan masalah penelitian.
Cik Hasan Bisri menjelaskan pengertian kerangka berpikir sebagai berikut:[9]
“Kerangka berpikir dapat berupa kerangka teori dan dapat pula berbentuk kerangka penalaran logis. Kerangka teori itu merupakan uraian ringkas tentang teori yang digunakan dan cara menggunakan teori itu dalam menjawab pertanyaan penelitian. Kerangka penalaran logis merupakan urutan berpikir logis, sebagai suatu cara berpikir ilmiah yang akan digunakan, dan cara menggunakan logika tersebut dalam memecahkan masalah. Kerangka berpikir itu bersifat operasional, yang diturunkan dari satu atau beberapa teori, atau dari pernyataan-pernyataan logis. Ia berhubungan dengan masalah penelitian dan menjadi pedoman dalam perumusan hipotesis yang akan diajukan”.
Dari sini kita akan menemukan beberapa perkiraan seputar jawaban dari pertanyaan di atas, perkiraan-perkiraan tersebut disebut hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
6. Metode dan Langkah-langkah Penelitian
1) Metode
Sebuah penelitian paling tidak mengemukakan dua metode, yaitu; 1) metode penelitian; dan 2) metode kajian.
Metode penelitian yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik masalah penelitian, tujuan penelitian, dan kerangka berpikir. Setiap metode penelitain memiliki karakteristik masing-masing, baik yang berkenaan dengan tahapan kerja yang dibutuhkan maupun kekuatan dan kelemahannya.[10]
Metode kajian digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan objek dan data-data penelitian yang disesuaikan dengan masalah yang terdapat dalam perumusan masalah dan tujuan penelitian. Metode kajian ini dapat pula dikatakan sebagai langkah kerja dari sebuah pendekatan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan penelitian yang sudah dibatasi dalam perumusan masalah.
2) Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah penelitian[11] yang ditempuh, biasanya mencakup; penentuan sumber data yang akan diteliti, jenis data, teknik pengumpulan data, analisa data.
a. Sumber Data
b. Jenis data penelitian
Jenis data penelitain adalah sesuatu yang berkaitan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan yang mana ditujukan pada persoalan-persoalan penelitian. Jenis data harus disusun dan pilih-pilah sesuai dengan urutan pertanyaan penelitian.
c. Tekni Pengumpulan data
d. analisa data penelitian
]Maklah ini disampaikan pada pembekalan praktik profesi jurusan Bahasa dan Sastra Arab 2 Agustus 2007 di PP Darussalam Ciamais
[2]S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,1997),hal. 1
[3]Lihat Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,1990), hal.11
[4]Ali Zaenal Abidin (wafat 95/713 H.) adalah putra dari putra Ali r.a., Husain dan Imam ke empat kaum syi’ah. Ia dikenal karena doa-doa yang dikumpulkannya, al-Shahifat al-Sajjaddiyyah. Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islam Though, (State University of New York Press, 1992). Trj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 425, hal. 25.
[5] Hisyam adalah khalifah ke X dari keturunan Muawiyyah ibn Abi Sufyan. Lihat, G. E. Bosworth, The Islamic Dynasties, (Edinburgh University Press, Edinburgh, 1980). Trj. Ilyas Hasan, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 25.
[6] Kuasa adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh Michel Foucault. Ia sendiri tidak mendefinisikan “kuasa”, tapi ia lebih menekankan bagaimana kuasa itu dapat dilaksanakan. Untuk memahami “kuasa” dapat dilihat dari gagasan dasarnya, yaitu kehendak untuk memperoleh kebenaran. Lihat, Konrad Kebung Beoang, Michel Foucault Parrhesia dan Persoalan Mengenai Etika, (Jakarta: Obor, 1997), hal. 51.
[7] S. Margono, op. cit., hal. 54-56
[8]Anton Bakkers, op. cit., hal. 133
[9] Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi (Bidang Ilmu Agama Islam), (Jakarta: Logos, 1999), hal. 40
[10] Ibid., hal. 53
[11] Sebagian orang terkadang menyebut langakah-langkah penelitian dengan istilah “prosedur penelitian” atau dengan istilah “metodologi penelitian”.

KISAH KEBERKAHAN DI BALIK MEMBACA BISMILLAH


Oleh : Nurfina Muharromi

Ada seorang perempuan tua yang taat beragama, tetapi suaminya seorang yang fasik dan tidak mau mengerjakan kewajipan agama dan tidak mau berbuat kebaikan.
Perempuan itu senantiasa membaca bismillah setiap kali hendak melakukan suatu pekerjaan yang baik, tetapi suaminya tidak suka dengan sikap isterinya dan senantiasa memperolok-olokkan isterinya.
Suaminya berkata sambil mengejek, " Muak aku mendengarmu kata-katamu sedikit-sedikit Bismillah, sedikit-sedikit Bismillah." Mendengar cemoohan suaminya, isterinya tidak berkata apa-apa, tetapi sebaliknya dia berdoa kepada Allah S.W.T. supaya memberikan hidayah kepada suaminya. Suatu hari suaminya berkata : "Suatu hari nanti akan aku buat kamu kecewa dengan bacaan-bacaanmu itu."
Untuk memperdayakan istrinya isterinya, dia memberikan wang yang banyak kepada isterinya dengan berkata, "Simpan duit ini." Isterinya mengambil duit itu dan menyimpan di tempat yang selamat, di samping itu suaminya telah melihat tempat yang disimpan oleh isterinya. Kemudian dengan tanpa sepengetahuan istrinya suaminya itu mengambil duit tersebut dan melemparkannya dalam sumur atau perigi di belakang rumahnya.

Setelah beberapa hari kemudian suaminya itu memanggil isterinya dan berkata, "Berikan padaku wang yang aku berikan kepadamu dulu."
Kemudian isterinya pergi ke tempat dia menyimpan duit itu dan diikuti oleh suaminya dengan berhati-hati dia menghampiri tempat dia menyimpan duit itu, dia membuka dengan membaca, "Bismillahirrahmanirrahiim." Ketika itu Allah S.W.T. menghantar malaikat Jibrail A.S. untuk mengembalikan kantong berisi uang dan menyerahkan uang itu kepada suaminya kembali.
Alangkah terperanjat dan terkejut suaminya, dia merasa bersalah dan mengaku segala perbuatannya kepada isterinya, ketika itu juga dia bertaubat dan mula mengerjakan perintah Allah, dan dia juga memulai untuk selalu membaca Bismillah apabila dia hendak melakukan sesuatu pekerjaan.

Disarikan dari kitab dari kitab Uqudullujen.
Disampaikan pada acara muhadharah malam jum’at di kelas

Makna kata Khalaqa dalam Al-Qur’an (Surat Al-Anbiya Sampai Surat Ar-Rûm).


Nurma Fitriani:

Kata khalaqa dalam Al-Qur'an dapat bermakna menciptakan, menjadikan, rancangan, dan banyak lagi makna-makna lain selain dari makna tersebut. Pentingnya kajian kata khalaqa dalam Al-Qur'an dapat dilihat dari banyaknya kata ini digunakan dan tersebar dalam Al-Qur'an yaitu dalam surat al-Anbiya sampai surat ar-Rûm. Kata khalaqa dalam surat al-anbiya sampai surat ar-Rûm berjumlah 43, baik dalam bentuk isim dan fi’il, bentuk mufrad dan jama’. Kata khalaqa dalam Al-Qur'an digunakan dalam arti, makna dan konteksnya yang berbeda-beda.
Tujuan penelitian ini adalah; 1) untuk mengetahui makna morfologis kata khalaqa dalam Al-Qur'an; 2) untuk mengetahui makna kontekstual Kata khalaqa dalam Al-Qur'an; 3) untuk mengetahui makna kata khalaqa menurut para ulama/ ahli.
Penelitian ini bertolak kepada teori yang mengatakan bahwa makna sangat dipengaruhi konteksnya (kata yang berada pada sebelum dan sesudahnya), seperti konteks Leksikal, gramatikal, linguistik, budaya, situasi, dan konteks emosi. Oleh karena itu suatu kata akan mengalami perubahan makna sesuai dengan konteksnya. Ilmu yang membahas makna adalah semantik (Ilm Ad-dilalah). Dengan pendekatan ini diharapkan dapat mengungkapkan makna kata khalaqa yang banyak itu, menghantarkan pada penemuan pemahaman, dan pengertian yang berbeda berdasarkan konteksya. Disinilah letak pentingnya pisau analisis semantik yang dijadikan “pisau analisis” untuk mencari pemahaman dan pengertian dari keseluruhan makna kata khalaqa yang terdapat dalam Al-Qur'an.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode struktural. Dengan metode ini, penelitian menganalisis dan mendeskripsikan kata khalaqa dalam Al-Qur'an. Sehingga metode ini dapat dikatakan juga sebagai metode analisis teks (content analysis). Selain metode di atas, penelitian ini menggunakan metode tafsiri (explanatory) yaitu metode menafsirkan bahasa Al-Qur'an dengan lafaz yang sukar dipamahi secara pendekatan semantik dengan uraian yang menjelaskan bahasa Al-Qur'an dalam tataran pragmatik.
Hasil penelitian tentang kata khalaqa dalam Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
1. Makna kata khalaqa secara morfologis dalam Al-Qur'an mencakup makna dalam bentuk kata benda (isim) dan bentuk kata kerja (fi’il); (a) kata khalaqa dalam bentuk kata benda (isim), berbentuk mashdar yaitu kata khalq yang diderivasi dari kata: khalaqa yakhluqu khalqan: penciptaan, tabi’at, fitrah, gambaran, ucapan, pikiran, agama, dusta, lurus, adat, layak, rancangan, utusan, manusia, makhluk, taqdir, ibda’. Berbentuk isim fa’il: Allah swt., pencipta. Dan kata khalaqa mengalami perubahan bentuk yaitu mukhallaqatun. Kata jadian ini terdapat dalam surat al-Hajj ayat 5; artinya: bentuk yang sempurna. (b) makna kata khalaqa dalam bentuk kata kerja (fi’il) yaitu: menciptakan, menjadikan, merancang, berdusta, mengirim, menetapkan, meluruskan, membentuk, bertabi’at.
2. Makna kontekstual kata khalaqa dalam Al-Qur'an mencakup; (a) konteks situasi dalam surat al-Anbiya ayat: 16 yaitu penciptaan di dunia, dan surat al-Hajj ayat: 73 yaitu sawwa/ menyerupai. (b) konteks linguistik(lughat), terdapat pada surat-surat atau ayat-ayat dari ayat yang termasuk pada konteks situasi, bermakna: taqdir, tabi’at, makhluk, menjadikan, membentuk, Allah swt., mengeluarkan, penciptaan secara umum, penciptaan manusia, al-ibda, manusia, berdusta, dan rancangan.
3. Makna kata khalaqa menurut ulama atau para ahli, yaitu:menurut al-Husaini; agama, berdusta, memberi bentuk, fikiran/ ucapan, membangunkan, menjadikan, dan penciptaan di dunia. Menurut M. Syahrur; makna kata khalaqa dipadankan dengan ja‘ala dan sawwâ. Menurut Shubhan Kamaludin, bahwa penciptaan itu diklasifikasikan menjadi dua yaitu penciptaan secara umum dan penciptaan secara khusus.
Dajjal disebutkan berulang-ulang dalam Hadits, sedangkan Ya'juj wa-Ma'juj bukan saja disebutkan dalam Hadits, melainkan pula dalam Al-Qur'an. Dan kemunculannya yang kedua kalinya ini dihubungkan dengan turunnya Al-Masih.
Kata Dajjal berasal dari kata dajala, artinya, menutupi (sesuatu). Kamus Lisanul-'Arab mengemukakan beberapa pendapat mengapa disebut Dajjal. Menurut suatu pendapat, ia disebut Dajjal karena ia adalah pembohong yang menutupi kebenaran dengan kepalsuan. Pendapat lainnya mengatakan, karena ia menutupi bumi dengan bilangannya yang besar. Pendapat ketiga mengatakan, karena ia menutupi manusia dengan kekafiran. Keempat, karena ia tersebar dan menutupi seluruh muka bumi.
Pendapat lain mengatakan, bahwa Dajjal itu bangsa yang menyebarkan barang dagangannya ke seluruh dunia, artinya, menutupi dunia dengan barang dagangannya. Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa ia dijuluki Dajjal karena mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan hatinya, artinya, ia menutupi maksud yang sebenarnya dengan kata-kata palsu.
Kata Ya'juj dan Ma juj berasal dari kata ajja atau ajij dalam wazan Yaf'ul; kata ajij artinya nyala api. Tetapi kata ajja berarti pula asra'a, maknanya berjalan cepat. Itulah makna yang tertera dalam kamus Lisanul-'Arab. Ya'juj wa-Ma'juj dapat pula diibaratkan sebagai api menyala dan air bergelombang, karena hebatnya gerakan.

Makna Kata Nafs dalam Al-Qur’ân

ABSTRAK
Darojat: Kata nafs dalam al-Qur’ân dapat bermakna “ruh” (dzat al-insân), “hati“ (dhamîr al-insân/qalb) atau“jiwa” (ashl al-basyar), dan banyak lagi makna-makna lain selain dari makna tersebut di atas. Pentingnya kajian kata nafs dalam al-Qur’ân dapat dilihat dari banyaknya kata ini digunakan dan tersebar hampir di seluruh surat dalam al-Qur’ân. Kata nafs dalam al-Qur’ân berjumlah sekitar 243 baik yang berbaris rafa’, nashab, dan jarr dari yang berbentuk tunggal (mufrad), dan banyak (jama’). Kata nafs dalam al-Qur’ân yang demikian banyak seperti itu, pasti banyak digunakan dalam arti, makna dan konteksnya yang berbeda-beda. Dengan kata lain, kata nafs itu banyak memiliki arti yang berbeda. Perbedaan arti ini mungkin dalam penafsiran umum hanya melihat pada konteks kalimatnya saja.
Tujuan penelitian ini adalah; 1) untuk mengetahui makana morfologis kata nafs dalam al-Qur’ân; 2) untuk mengetahui makna kontekstual kata nafs dalam al-Qur’ân.
Penelitian ini bertolak dari teori yang mengatakan bahwa makna bahasa sangat dipengaruhi oleh konteksnya, seperti konteks Mu’jami’ (leksikal), gramatikal, linguistik, budaya, sejarah, dan konteks emosi. Oleh karena itu suatu kata akan mengalami perubahan makna sesuai dengan konteksnya. Ilmu yang membahas makna bahasa adalah semantik (Ilm Dilâlah). Dengan pendekatan ini diharapkan dapat mengungkap makna kata nafs yang banyak itu, menghantarkan pada penemuan pemahaman, dan pengertian yang berbeda berdasarkan konteksnya. Disinilah letak pentingnya analisis semantik yang dijadikan “pisau analisis” untuk mencari inti pemahaman dan pengertian dari keseluruhan makna kata nafs yang terdapat dalam al-Qur’ân.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dengan metode ini, penulis menganalisis dan mendeskripsikan kata nafs dalam al-Qur’ân. Sehingga, metode ini dapat dikatakan juga sebagai metode analisis isi teks (content analysis). Selain metode di atas, penelitian ini menggunakan metode tafsiri (explanatory) yaitu metode menafsirkan bahasa al-Qur’ân dengan menjelaskan lafadl yang sukar dipahami secara pendekatan semantik dengan uraian yang menjelaskan bahasa al-Qur’ân dalam tataran pragmatiknya.
Hasil penelitian tentang kata nafs dalam al-Qur’ân adalah sebagai berikut:
1. Makna kata nafs secara morfologis dalam al-Qur’ân mencakup makna dalam bentuk kata benda (ism) dan bentuk kata kerja (fi’l); (a) Kata nafs adalah bentuk mashdar dan merupakan jenis kata yang memiliki banyak makna (musytarak lafdli). Kata nafs diderivasi dari kata: Nafusa yanfusu nafs: indah; berharga, nafisa-yanfisu-nafs: kikir, melahirkan; mata, jahat, jasad, darah, tubuh, semangat, hasrat, kehendak, pendapat, kemuliaan, hawa, hisapan, tegukan, model (uslub), sabar, lapang dada, waktu yang lama, mufakat, orang, ruh, akal, zat, esensi; nyawa, diri atau seseorang, niat, kehendak; meninggal; proses/ bagaimana keluarnya sesuatu yang lembut, seperti; angin; ruh, dan darah, melahirkan; udara yang masuk dan keluar dari badan; metode/ atau teknik dalam bekerja; manusia; kesombongan; kekuasaan (al-‘izzah), hasrat (al-himmah), dan keinginan (al-irâdah); penggerak badan. Nafs juga bermakna kamâl awwal dan ‘ali; Kata nafs mengalami perubahan bentuk yaitu: al-mutanâfisûn. Kata jadian ini terdapat dalam surat al-Muthaffifîn ayat 26; artinya “orang yang menyukai; dan (b) makna kata nafs dalam bentuk kata kerja (Fi’l). Kata nafs dalam bentuk kata kerja hanya disebutkan dua kali. Satu dalam bentuk fi’l mâdhi, dan yang satunya lagi dalam bentuk fi’l mudhâri. Kedua kata nafs tersebut sudah mengalami perubahan pola (wazan) atau telah mengalami proses afiksasi; yaitu: tanaffasa (تنفس) dan yatanâfasu ((يتنافس. Dalam bentuk tanaffasa, artinya; benafas, menarik nafas, dan memanjakan diri. Tanaffasa padanannya, yaitu; syariba; minum, terbit, dan menyinari.يتنافس , artinya adalah (رغب في); menyukai.
2. Makna sintaksis kata nafs dalam al-Qur’ân adalah: (a) kata nafs dalam bentuk tunggal 142 kata, 77 kata tanpa diidhâfatkan dengan kata lain dan 65 di-idhâfat-kan; (b) kata nafs dalam bentuk jamak disebutkan 160 kali, dua kata dalam bentuk ( نفوس ), yaitu dalam surat al-Takwîr ayat 7 dan surat al-Isrâ ayat 25, dan 158 kata dalam bentuk atau wazan ) (أنفس; (c) kata nafs dalam bentuk umum (nakirah) sebanyak 20 kali; (d) kata nafs dalam bentuk khusus (ma’rifah) 225 dengan kategori khusus dengan alif-lam, idhâfah dengan kata ganti orang ke dua (نفسكَ), ketiga (نفسه), ketiga (نفسها), kedu jamak (أنفسكم), (أنفسهن), dan kata ganti orang pertama tunggal (نفسي) dan jamak (أنفسنا); )e) kata nafs khusus dengan disifati oleh kata wâhidah dan muthma’innah; (f) kata nafs dalam bentuk gender ada yang mengacu kepada mudzakkar sebanyak 9 kata dan mu’annats 234 kata.
3. Makna kontekstual kata nafs dalam al-Qur’ân mencakup; (a) konteks sejarah, maknanya adalah perintah Allah kepada Rasul untuk berperang dalam surat al-Nisâ ayat 84, (b) konteks budaya (tsaqâfi), maknanya adalah angin, sesuatu yang istimewa dalam surat al-Mâidah ayat 32, (c) konteks linguistik bermakna; ruh, akal, sisi dalam dan sisi luar manusia, siksa atau azab, jiwa, suatu bangsa; Âdam; hawa nafsu, kemadaratan bagi totalitas manusia dari sisi luar dan dari sisi dalamnya, Mûsâ, seseorang sebagai individu dan keturunannya sekaligus sebagai anggota masyarakat, dan bermakna Dzat Allah.

HIKMAH ISRA DAN MI’RAJ

Oleh : Darojat Marjuki

Disampaikan pada Khuthbah Jum’at tanggal, 27 Juli 2007 di Masjid Nurul islam Jln Cilengkrang II RW. 07/08 Manglayang bawah Kel. Palasari Cibiru
Hadirin Jama’ah Jum’at! Kita sudah memasuki tanggal 12 bulan Rajab, lalu kita akan melewati sebuah peristiwa sejarah yang sangat monumental. Momentum sejarah tersebut adalah peristiwa yang terjadi sekitar 14 abad Hijriyah yang lalu, yaitu peristiwa Isra' Mi'raj. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Al-Quds, lalu dilanjutkan dengan menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluq,malaikat, manusia, dan jin. Semua itu ditempuh dalam sehari semalam. Peristiwa itu sekaligus sebagai mukjizat mengagumkan yang diterima Rasulullah SAW.
Permintaan kaum kafir Quraisy kepada Nabi SAW
Sebenarnya, sebelum peristiwa itu terjadi, orang-orang kafir Quraisy pernah meminta kepada Rasulullah untuk menunjukkan hal-hal yang aneh, karena mereka tidak percaya kalau Muhammad SAW itu adalah nabi. Permintaan-permintaan itu mereka lontarkan untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar seorang Nabi. Hal ini direkam oleh Allah dalam Al Qur'an sebagai berikut:
"Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca". (QS. Bani Israil : 90 - 93)
Hadirin ! Yang dapat kita fahami dari ayat di atas, mereka meminta beberapa hal-hal kepada Rasulullah antara lain:
1. Mereka meminta untuk memancarkan mata air dari bumi.
2. Mereka juga meminta sebuah kebun kurma dan anggur, dengan air mengalir di bawahnya. Padahal di sekitar situ sebagian besar padang pasir.
3. Mereka meminta untuk menjatuhkan langit.
4. Mereka juga meminta menghadirkan Allah beserta malaikat-malaikatnya untuk dihadapkan kepada mereka. Sungguh suatu permintaan yang lancang.
5. Mereka juga meminta sebuah rumah dari emas.
6. Yang terakhir, mereka meminta Nabi untuk naik ke langit tanpa membawa buku, lalu harus kembali dengan membawa sebuah buku (kitab) untuk mereka baca.
Permintaan mereka itu betul-betul "kebangetan". Tetapi Rasulullah SAW menjawabnya dengan bijaksana, "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS. Bani Israil: 93). Allah Yang Maha Suci tentu Maha Kuasa untuk melakukan semua itu, tetapi Rasulullah mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa yang diangkat menjadi seorang Rasul, sehingga tidak mungkin melakukan semua itu.
Kita bisa ambil pelajaran dari dari hal di atas. Mungkin sampai zaman kapan pun, kebenaran (baca: Islam) akan menghadapi hal-hal seperti itu. Orang yang membawa kebenaran akan selalu menghadapi permintaan-permintaan yang diluar kemampuan. Dan permintaan tersebut kebanyakan hanya sebagai "olok-olok". Karena, kalaupun kita bisa memenuhi permintaan itu, mereka kebanyakan tetap tidak akan mendengar Islam ini. Hanya sedikit yang mau mendengarnya. Sebagaimana halnya Rasulullah setelah mengalami peristiwa Isra' Mi'raj, tidak banyak yang mempercayai perjalanannya tersebut, bahkan ada yang mengatakan Nabi gila walaupun Nabi sudah memberikan bukti-bukti atas apa yang telah dia alami (Isra' Mi'raj).
Peringatan Isra' Mi'raj sebagai motivasi
Kalau kita baca sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, Rasulullah mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya dikala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang (walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas Nabi. Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya kepada Nabi, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah SAW.
Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasullah semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah "menghibur" Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan menemui Allah. Hingga kini, peristiwa ini seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dalam peringatan Isra' Mi'raj. Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka beribadah (ibadah dalam artian ibadah ritual khusus). Namun peringatan tersebut juga terdapat beberapa catatan. Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di bawah ini.
Dalam Al Qur'an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya ada 4 ayat yang menjelaskan tentang Isra' Mi'raj, yaitu QS. Bani Israil ayat 1, dan QS. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya, kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra' Mi'raj ini, tapi pada konsepnya, sistemnya, muatannya, dan sebagainya. Pada surat An Najm ayat 13-15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra Mi'raj. Sebelumnya Rasulullah juga pernah menjumpai malaikat jibril dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (QS. Al Alaq: 1-5) dari Allah SWT, yaitu ketika di gua Hira.
Dan di antara 25 nabi, hanya 2 Nabi yang yang pernah berbicara langsung kepada Allah, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana dengan Nabi Adam, bukankah beliau juga pernah berdialog dengan Allah? Ya, tapi Nabi Adam ketika itu masih di Surga. Setelah diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog secara langsung. Nabi Musa berdialog dengan Allah secara langsung yaitu ketika di bukit Tursina (di bumi), sedangkan Nabi Muhammad di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi), kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya, di muatannya. Oleh karena itulah, peristiwa Isra' Mi'raj sendiri tidak perlu secara berlebihan diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri merupakan mukjizat imani, maksudnya adalah mukjizat yang hanya bisa diterima apabila kita beriman.
Meskipun hanya Nabi Muhammad yang telah diperjalankan pada malam harinya (Isra' Mi'raj), tapi dia tetaplah manusia biasa, hamba Allah. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum Islam (Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.
Mengapa Masjidil Aqsa?
Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra' Mi'raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya, antara lain:
1. Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Inilah yang menyebabkan Yahudi dan Kristen menolak Nabi Muhammad, karena mereka melihat asal usul keturunannya (nasab). Alasan mereka itu sangat tidak ilmiah, dan kalau memang benar, mereka berarti rasialis, karena melihat orang itu dari keturunannya. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berda'wah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berda'wah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan "golongan" Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.
2. Hikmah berikutnya adalah, Allah dengan segala ilmu-Nya mengetahui bahwa Masjidil Aqsa adalah akan menjadi sumber sengketa sepanjang zaman setelah itu. Mungkin Allah ingin menjadikan tempat ini sebagai "pembangkit" ruhul jihad kaum muslimin. Kadangkala, kalau tiada lawan itu semangat jihad kaum muslimin "melemah" karena terlena, dan dengan adanya sengketa tersebut, semangat jihad kaum muslimin terus terjaga dan terbina.
3. Berikutnya, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur'an surat An Najm ayat 12, terdapat kata "Yaro" dalam bahasa Arab yang artinya "menyaksikan langsung". Berbeda dengan kata "Syahida", yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da'wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan Nabi-nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa Nabi yang sebelumnya pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da'i, bahwa dalam kesulitan da'wah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.
Perintah Shalat
Pada Isra' Mi'raj, Allah memberikan perintah sholat wajib. Dan sholat Subuh adalah sholat yang pertama kali diperintahkan. Karena peristiwa Isra' Mi'raj sendiri terjadi pada saat malam hari. Subuhnya Rasulullah sudah tiba kembali di tempat semula. Mungkin ini juga hikmah bagi kita semua, karena sholat Subuh adalah sholat yang sulit untuk di laksanakan, di mana pada saat itu banyak manusia yang masih terlelap dalam tidurnya. Sebelum diperintahkannya sholat wajib 5 waktu ini, Rasulullah melaksanakan sholat sebagaimana Nabi Ibrahim.
Kita tidak hanya diperintahkan untuk mengerjakan sholat, tetapi juga menegakkan sholat. Sholat bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari sholat, demikian kata seorang ustadz. Demikianlah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa Isra' Mi'raj. Semoga semakin menambah keimanan kita kepada Allah, kitab-Nya, Nabi-nabi-Nya, para malaikat-Nya, Hari Akhir, serta Qadha dan Qadar-Nya
Assalamu'alaikum
Perkenalkan saya "Darojat", ingin berbagi ilmu dengan Anda melalui blog ini.